Indotnesia – Sayembara Jemparingan Paku Alam Cup dalam rangka memperingati Hadeging Kadipaten Pakualaman ke 210 baru saja selesai digelar pada Minggu (26/6/2022) di lapangan Kopertis, Yogyakarta.
Budaya ini merupakan salah satu seni olahraga tradisional khas Yogyakarta, jemparingan memiliki sejarah unik yang lekat dengan Kraton Jogja.
Meski asing di kalangan masyarakat umum, jemparingan telah ada sejak terbentuknya Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat di bawah pimpinan Sri Sultan Hamengkubuwana I pada 1755-1792.
Makna Jemparingan
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) daring tidak ditemukan arti dari kata jemparingan. Meski begitu, terdapat kata jemparing yang berarti panah.
Sedangkan dalam Bausastra Jawa, kata jemparing merupakan bentuk krama inggil dari panah sehingga, jemparingan dapat dikatakan sebagai panahan.
Secara umum, jemparingan adalah salah satu olahraga yang biasa dilakukan di lingkungan Kraton. Olahraga ini merupakan tradisi peninggalan Kerajaan Mataram dan dulunya hanya khusus dilakukan oleh anggota kerajaan.
Dalam bahasa Jawa, kegiatan panahan tradisional ini merupakan aktivitas manah yang bertujuan untuk meluncurkan anak panah menggunakan busur agar mengenai target tertentu.
Manah memiliki arti hati atau pikiran, yang selaras dengan kegiatan jemparingan karena juga menggunakan pikiran dan bahasa untuk tetap fokus dalam menembak target dengan tepat.
Hal tersebut juga bermakna bahwa olahraga khas Yogyakarta ini mengedepankan konsep mendidik tanpa menggunakan mata, melainkan fokus dengan mata hati atau rasa.
Cara Bermain Jemparingan
Berbeda dari panahan modern yang dilakukan secara berdiri, jemparingan dengan posisi duduk atau lenggah bersila. Pakaian yang digunakan pun harus khusus baju tradisional berupa lurik atau sorjan.
Untuk jarak antara pemanah dengan sasaran berupa bandul atau wong-wongan sekitar 30 meter atau disesuaikan.
Setiap tahunnya, jemparingan diadakan saat Hadeging Kadipaten Pakualaman atau peringatan ulang tahun Kadipaten Puro Pakualaman. Selain itu, olahraga ini juga rutin dilakukan dalam 35 hari sekali atau selapan tiap sabtu kliwon.
Berdasarkan keterangan Ketua Paguyuban Panahan Tirto Kembaran Maulluna Kiswata menjelaskan bahwa jemparingan dibagi menjadi dua, yaitu gagrak mataram dan gagarak perpani.
“Gagrak mataraman itu adiluhung (posisi panah horizontal) karena memang peraturan dari mataram, itu yang sekarang dipakai di Kamandungan Kraton Yogyakarta,” jelas Maulluna saat mempraktekkan kegiatan jemparingan di kawasan Kembaran Ekowisata.
“Kalau gagrak perpani itu dulu pencetusnya adalah Sri Paduka Pakualaman ke-8 dan sampai sekarang beraturannya beda. Kalau gagrak mataram itu horizontal, gagrak perpani posisi busur agak miring searah jam satu atau dua,” lanjutnya.
Sementara untuk laki-laki dan perempuan, posisi duduk saat bermain jemparingan masing-masingnya berbeda. Laki-laki bermain jemparingan dengan bersila, sedangkan perempuan duduk secara timpuh, yaitu duduk dengan kedua belah kaki terlipat dan ditindih.
Itulah sejarah jemparingan, panahan dengan cara duduk bersila asli Yogyakarta. Memiliki sejarah yang lekat dengan Kraton Yogyakarta, tak heran bila olahraga ini masih terus dilestarikan dan jadi aktivitas favorit sejumlah anak muda di Jogja lho. Sudah pernah mencoba?
#Sejarah #Jemparingan #Panahan #dengan #Duduk #Bersila #Asli #Yogyakarta
Sumber : indotnesia.suara.com